A. Pengertian Paradigma
Istilah paradigma pertama kali diperkenalkan oleh
Thomas Kuhn (1962), dan kemudian dipopulerkan oleh Robert Friedrichs (1970).
Menurut Kuhn, paradigma adalah cara mengetahui realitas sosial yang
dikonstruksi oleh mode of thought atau mode of inquiry tertentu, yang kemudian
menghasilkan mode of knowing yang spesifik. Definisi tersebut dipertegas oleh
Friedrichs, sebagai suatu pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu
tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari. Pengertian
lain dikemukakan oleh George Ritzer (1980), dengan menyatakan paradigma sebagai
pandangan yang mendasar dari para ilmuan tentang apa yang menjadi pokok
persoalan yang semestinya dipelajari oleh salah satu cabang/disiplin ilmu
pengetahuan.
Norman K. Denzin membagi paradigma kepada
tiga elemen yang meliputi; epistemologi, ontologi, dan metodologi. Epistemologi
mempertanyakan tentang bagimana cara kita mengetahui sesuatu, dan apa hubungan
antara peneliti dengan pengetahuan. Ontologi berkaitan dengan pertanyaan dasar
tentang hakikat realitas. Metodologi memfocuskan pada bagaimana cara kita
memperoleh pengetahuan. Dari definisi dan muatan paradigma ini, Zamroni
mengungkapkan tentang posisi paradigma sebagai alat bantu bagi ilmuwan untuk
merumuskan berbagai hal yang berkaitan dengan; (1) apa yang harus dipelajari;
(2) persoalan-persoalan apa yang harus dijawab; (3) bagaimana metode untuk
menjawabnya; dan (4) aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan
informasi yang diperoleh.
B. Paradigma Penelitian Ilmu-ilmu Sosial
Menurut Kuhn, perkembangan ilmu tidak selalu berjalan
linear, karena itu tidak benar kalau dikatakan perkembangan ilmu itu bersifat
kumulatif. Penolakan Kuhn didasarkan pada hasil analisisnya terhadap
perkembangan ilmu itu sendiri yang ternyata sangat berkait dengan dominasi
paradigma keilmuan yang muncul pada periode tertentu. Bahkan bisa terjadi dalam
satu waktu, beberapa metode pengetahuan berkembang bersamaan dan masing-masing
mengembangkan disiplin keilmuan yang sama dengan paradigma yang berlainan.
Perbedaan paradigma dalam mengembangkan pengetahuan, menurut Kuhn, akan
melahirkan pengetahuan yang berbeda pula. Sebab bila cara berpikir (mode of
thought) para ilmuwan berbeda satu sama lain dalam menangkap suatu realitas, maka
dengan sendirinya pemahaman mereka tentang realitas itu juga menjadi beragam.
Konsekwensi terjauh dari perbedaan mode of thought ini adalah munculnya
keragaman skema konseptual pengembangan pengetahuan yang kemudian berakibat
pula pada keragaman teori-teori yang dihasilkan.
Mengacu pada Kuhn, dapat dikatakan bahwa paradigma
ilmu itu amat beragam. Keragaman paradigma ini pada dasarnya adalah akibat dari
perkembangan pemikiran filsafat yang berbeda-beda sejak zaman Yunani. Sebab
sudah dapat dipastikan, bahwa pengetahuan yang didasarkan pada filsafat
Rasionalisme akan berbeda dengan yang didasarkan Empirisme, dan berbeda dengan
Positivisme, Marxisme dan seterusnya, karena masing-masing aliran filsafat
tersebut memiliki cara pandang sendiri tentang hakikat sesuatu serta memiliki
ukuran-ukuran sendiri tentang kebenaran. Menurut Ritzer (1980), perbedaan
aliran filsafat yang dijadikan dasar berpikir oleh para ilmuwan akan berakibat
pada perbedaan paradigma yang dianut. Paling tidak terdapat tiga alasan untuk mendukung
asumsi ini; (1) pandangan filsafat yang menjadi dasar ilmuwan untuk menentukan
tentang hakikat apa yang harus dipelajari sudah berbeda; (2) pandangan filsafat
yang berbeda akan menghasilkan obyek yang berbeda; dan (3) karena obyek
berbeda, maka metode yang digunakan juga berbeda.
Perbedaan paradigma yang dianut para ilmuan ternyata
tidak hanya berakibat pada perbedaan skema konseptual penelitian, melainkan
juga pada perbedaan produk pengetahuan. Perbedaan dimaksud dapat terlihat
terutama pada tiga level yaitu pada; penjernihan epistemologi, level “middle
range” teori, khususnya dalam menguraikan pengetahuan ke dalam kerangka kerja
teoritis; dan tingkat metode dan teknik.
Hampir semua disiplin ilmu menghadapi persoalan
keragaman paradigma, terlebih lagi bidang ilmu-ilmu sosial. Sosiologi,
misalnya, dapat didekati dari berbagai macam paradigma (multi paradigma). Dalam
Sosiologi dikenal sejumlah paradigma sosiologi yang cukup dominan, antara lain
Paradigma Fakta Sosial, Paradigma Definisi Sosial, dan Paradigma Perilaku
Sosial. Keragaman paradigma ini sudah jelas memunculkan sejumlah pendekatan
yang berlainan terhadap suatu obyek, baik dalam mendefinisikan hakikat obyek
itu sendiri, maupun dalam cara menganalisisnya --yang hasilnya sudah dapat dipastikan
akan berbeda antara satu sama lain.
C. Paradigma Penelitian Kualitatif dan
Kuantitatif
Ada pernyataan dari Egon G. Guba yang cukup menarik
untuk ditanggapi di sini, yaitu bahwa “A paradigm may be viewed as set of basic
beliefs (or metaphisies) that deals with ultimetes or principles. Keyakinan
itu, menurut Guba, merepresentasikan pandangan dunia tentang hakikat sesuatu,
serta merupakan dasar di dalam nurani dimana ia diterima dengan penuh
kepercayaan. Sesuatu yang diyakini kebenarannya tanpa didahului penelitian
sistematis, dalam filsafat ilmu, disebut dengan aksioma atau asumsi dasar. Keyakinan
(beliefs), aksioma atau asumsi dasar tersebut menempati posisi penting dalam
menentukan skema konseptual penelitian, ia merupakan dasar permulaan yang
melandasi semua proses dan kegiatan penelitian.
Berkait dengan proposisi di atas, penelitian kuantitatif
dan kualitatif memiliki perbedaan paradigma yang amat mendasar. Penelitian
kuantitatif dibangun berlandaskan paradigma positivisme dari August Comte
(1798-1857), sedangkan penelitian kualitatif dibangun berlandaskan paradigma
fenomenologis dari Edmund Husserl (1859-1926).
1. Paradigma kuantitatif:
Paradigma kuantitatif merupakan satu pendekatan
penelitian yang dibangun berdasarkan filsafat positivisme. Positivisme adalah
satu aliran filsafat yang menolak unsur metafisik dan teologik dari realitas
sosial. Karena penolakannya terhadap unsur metafisis dan teologis, positivisme
kadang-kadang dianggap sebagai sebuah varian dari Materialisme (bila yang
terakhir ini dikontraskan dengan Idealisme).
Dalam penelitian kuantitatif diyakini, bahwa
satu-satunya pengetahuan (knowledge) yang valid adalah ilmu
pengetahuan (science), yaitu pengetahuan yang berawal dan didasarkan pada
pengalaman (experience) yang tertangkap lewat pancaindera untuk kemudian diolah
oleh nalar (reason). Secara epistemologis, dalam penelitian kuantitatif
diterima suatu paradigma, bahwa sumber pengetahuan paling utama adalah fakta
yang sudah pernah terjadi, dan lebih khusus lagi hal-hal yang dapat ditangkap
pancaindera (exposed to sensory experience). Hal ini sekaligus mengindikasikan,
bahwa secara ontologis, obyek studi penelitian kuantitatif adalah fenomena dan
hubungan-hubungan umum antara fenomena-fenomena (general relations between
phenomena). Yang dimaksud dengan fenomena di sini adalah sejalan dengan prinsip
sensory experience yang terbatas pada external appearance given in sense
perception saja. Karena pengetahuan itu bersumber dari fakta yang diperoleh
melalui pancaindera, maka ilmu pengetahuan harus didasarkan pada eksperimen,
induksi dan observasi.
Bagaimana pandangan penganut kuantitatif tentang
fakta? Dalam penelitian kuantitatif diyakini sejumlah asumsi sebagai dasar
otologisnya dalam melihat fakta atau gejala. Asumsi-asumsi dimaksud adalah; (1)
obyek-obyek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain, baik bentuk, struktur,
sifat maupun dimensi lainnya; (2) suatu benda atau keadaan tidak mengalami
perubahan dalam jangka waktu tertentu; dan (3) suatu gejala bukan merupakan
suatu kejadian yang bersifat kebetulan, melainkan merupakan akibat dari
faktor-faktor yang mempengaruhinya. Jadi diyakini adanya determinisme atau proses
sebab-akibat (causalitas). Dalam kaitannya dengan poin terakhir, lebih jauh
Russel Keat & John Urry, seperti dikutip oleh Tomagola, mengemukakan bahwa
setiap individual event/case tidak mempunyai eksistensi sendiri yang lepas
terpisah dari kendali empirical regularities. Tiap individual event/case
hanyalah manifestasi atau contoh dari adanya suatu empirical regularities.
Sejalan dengan penjelasan di atas, secara
epistemologi, paradigma kuantitatif berpandangan bahwa sumber ilmu itu terdiri
dari dua, yaitu pemikiran rasional data empiris. Karena itu, ukuran kebenaran
terletak pada koherensi dan korespondensi. Koheren besarti sesuai dengan
teori-teori terdahulu, serta korespondens berarti sesuai dengan kenyataan
empiris. Kerangka pengembangan ilmu itu dimulai dari proses perumusan hipotesis
yang deduksi dari teori, kemudian diuji kebenarannya melalui verifikasi untuk
diproses lebih lanjut secara induktif menuju perumusan teori baru. Jadi, secara
epistemologis, pengembangan ilmu itu berputar mengikuti siklus; logico,
hypothetico, verifikatif.
Dalam metode kuantitatif, dianut suatu paradigma bahwa
dalam setiap event/peristiwa sosial mengandung elemen-elemen tertentu yang
berbeda-beda dan dapat berubah. Elemen-elemen dimaksud disebut dengan variabel.
Variabel dari setiap even/case, baik yang melekat padanya maupun yang
mempengaruhi/dipengaruhinya, cukup banyak, karena itu tidak mungkin
menangkap seluruh variabel itu secara keseluruhan. Atas dasar itu, dalam
penelitian kuantitatif ditekankan agar obyek penelitian diarahkan pada
variabel-variabel tertentu saja yang dinilai paling relevan. Jadi, di sini
paradigma kuantitatif cenderung pada pendekatan partikularistis.
Lebih khusus mengenai metode analisis dan prinsip
pengambilan kesimpulan, Julia Brannen, ketika menjelaskan paradigma kuantitatif
dan kualitatif, mengungkap paradigma penelitian kuantitaif dari dua aspek
penting, yaitu: bahwa penelitian kuantitatif menggunakan enumerative induction
dan cenderung membuat generalisasi (generalization). Penekanan analisis data
dari pendekatan enumerative induction adalah perhitungan secara kuantitatif, mulai
dari frekuensi sampai analisa statistik. Selanjutnya pada dasarnya generalisasi
adalah pemberlakuan hasil temuan dari sampel terhadap semua populasi, tetapi
karena dalam paradigma kuantitatif terdapat asumsi mengenai adanya
“keserupaan” antara obyek-obyek tertentu, maka generalisasi juga dapat
didefinisikan sebagai universalisasi.
2. Paradigma Penelitian
Kualitatif
Penelitian kualitatif adalah satu model penelitian
humanistik, yang menempatkan manusia sebagai subyek utama dalam peristiwa
sosial/budaya. Jenis penelitian ini berlandaskan pada filsafat fenomenologis
dari Edmund Husserl (1859-1928) dan kemudian dikembangkan oleh Max Weber
(1864-1920) ke dalam sosiologi. Sifat humanis dari aliran pemikiran ini
terlihat dari pandangan tentang posisi manusia sebagai penentu utama perilaku
individu dan gejala sosial. Dalam pandangan Weber, tingkah laku manusia yang
tampak merupakan konsekwensi-konsekwensi dari sejumlah pandangan atau doktrin
yang hidup di kepala manusia pelakunya. Jadi, ada sejumlah pengertian,
batasan-batasan, atau kompleksitas makna yang hidup di kepala manusia pelaku,
yang membentuk tingkah laku yang terkspresi secara eksplisit.
Terdapat sejumlah aliran filsafat yang mendasari
penelitian kualitatif, seperti Fenomenologi, Interaksionisme simbolik, dan
Etnometodologi. Harus diakui bahwa aliran-aliran tersebut memiliki
perbedaan-perbedaan, namun demikian ada satu benang merah yang mempertemuan
mereka, yaitu pandangan yang sama tentang hakikat manusia sebagai subyek yang
mempunyai kebebasan menentukan pilihan atas dasar sistem makna yang membudaya
dalam diri masing-masing pelaku.
Bertolak dari proposisi di atas, secara ontologis,
paradigma kualitatif berpandangan bahwa fenomena sosial, budaya dan tingkah
laku manusia tidak cukup dengan merekam hal-hal yang tampak secara nyata,
melainkan juga harus mencermati secara keseluruhan dalam totalitas konteksnya.
Sebab tingkah laku (sebagai fakta) tidak dapat dilepaskan atau dipisahkan
begitu saja dari setiap konteks yang melatarbelakanginya, serta tidak dapat
disederhanakan ke dalam hukum-hukum tunggal yang deterministik dan bebas
konteks.
Dalam Interaksionisme simbolis, sebagai salah satu
rujukan penelitian kualitatif, lebih dipertegas lagi tentang batasan tingkah
laku manusia sebagai obyek studi. Di sini ditekankankan perspektif
pandangan sosio-psikologis, yang sasaran utamanya adalah pada
individu ‘dengan kepribadian diri pribadi’ dan pada interaksi antara pendapat
intern dan emosi seseorang dengan tingkah laku sosialnya.
Paradigma kualitatif meyakini bahwa di dalam
masyarakat terdapat keteraturan. Keteraturan itu terbentuk secara natural,
karena itu tugas peneliti adalah menemukan keteraturan itu, bukan menciptakan
atau membuat sendiri batasan-batasannya berdasarkan teori yang ada. Atas dasar
itu, pada hakikatnya penelitian kualitatif adalah satu kegiatan sistematis
untuk menemukan teori dari kancah – bukan untuk menguji teori atau hipotesis.
Karenanya, secara epistemologis, paradigma kualitatif tetap mengakui fakta
empiris sebagai sumber pengetahuan tetapi tidak menggunakan teori yang ada
sebagai bahan dasar untuk melakukan verifikasi.
Dalam penelitian kualitatif, ‘proses’ penelitian
merupakan sesuatu yang lebih penting dibanding dengan ‘hasil’ yang diperoleh.
Karena itu peneliti sebagai instrumen pengumpul data merupakan satu prinsip
utama. Hanya dengan keterlibatan peneliti alam proses pengumpulan datalah hasil
penelitian dapat dipertanggungjawakan.
Khusus dalam proses analisis dan pengambilan
kesimpulan, paradigma kualitatif menggunakan induksi analitis (analytic
induction) dan ekstrapolasi (extrpolation). Induksi analitis adalah satu
pendekatan pengolahan data ke dalam konsep-konsep dan kateori-kategori (bukan
frekuensi). Jadi simbol-simbol yang digunakan tidak dalam bentuk numerik,
melainkan dalam bentuk deskripsi, yang ditempuh dengan cara merubah data ke
formulasi. Sedangkan ekstrapolasi adalah suatu cara pengambilan kesimpulan yang
dilakukan simultan pada saat proses induksi analitis dan dilakukan secara
bertahap dari satu kasus ke kasus lainnya, kemudian –dari proses analisis
itu--dirumuskan suatu pernyataan teoritis.
D. Perbedaan Paradigma
Kuantitatif-Kualitatif
Bertolak dari perbedaan-perbedaan disebut di atas,
dapat dicatat berbagai perbedaan paradigma yang cukup signifikan antara
penelitian kuantitatif dengan kualitatif. Seperti dikemukakan sebelumnya,
penelitian kuantitatif memiliki perbedaan paradigmatik dengan penelitian
kualitatif. Secara garis besar, perbedaan dimaksud mencakup beberapa hal:
KUANTITATIF
1. Positivistik
2. Deduktif-Hipotetis
3. Partikularistik
4. Obyektif
5. Berorientasi
kpd hasil
6. Menggunakan
pandangan ilmu pengetahuan alam
KUALITATIF
1. Fenomenologik
2. Induktif
3. Holistik
4. Subyektif
5. Berorientasi
kpd proses
6. Menggunakan
pandangan ilmu sosial/antropological
Lebih lanjut perbedaan paradigma kedua jenis
penelitian ini dapat dielaborasi sebagai berikut:
Paradigma Kuantitatif
1. Cenderung menggunakan metode kuantitatif, dalam
pengumpulan dan analisa data, termasuk dalam penarikan sampel.
2. Lebih menenkankan pada proses berpikir
positivisme-logis, yaitu suatu cara berpikir yang ingin menemukan fakta atau
sebab dari sesuatu kejadian dengan mengesampingkan keadaan subyektif dari
individu di dalamnya.
3. Peneliti cenderung ingin menegakkan obyektifitas yang
tinggi, sehingga dalam pendekatannya menggunakan pengaturan-pengaturan secara
ketat (obstrusive) dan berusaha mengendalikan stuasi (controlled).
4. Peneliti berusaha menjaga jarak dari situasi yang
diteliti, sehingga peneliti tetap berposisi sebagai orang “luar” dari obyek
penelitiannya.
5. Bertujuan untuk menguji suatu teori/pendapat untuk
mendapatkan kesimpulan umum (generasilisasi) dari sampel yang ditetapkan.
6. Berorientasi pada hasil, yang berarti juga kegiatan
pengumpulan data lebih dipercayakan pada intrumen (termasuk pengumpul data
lapangan).
7. Keriteria data/informasi lebih ditekankan pada segi
realibilitas dan biasanya cenderung mengambil data konkrit (hard fact).
8. Walaupun data diambil dari wakil populasi (sampel),
namun selalu ditekankan pada pembuatan generalisasi.
9. Fokus yang diteliti sangat spesifik (particularistik)
berupa variabel-variabel tertentu saja. Jadi tidak bersifat holistik.
Paradigma Kualitatif
1. Cenderung menggunakan metode kualitatif, baik dalam
pengumpulan maupun dalam proses analisisnya.
2. Lebih mementingkan penghayat-an dan pengertian dalam
menangkap gejala (fenomenologis).
3. Pendekatannya wajar, dengan menggunakan pengamatan
yang bebas (tanpa pengaturan yang ketat).
4. Lebih mendekatkan diri pada situasi dan kondisi yang
ada pada sumber data, dengan berusaha menempatkan diri serta berpikir dari
sudut pandang “orang dalam”.
5. Bertujuan untuk menemukan teori dari lapangan secara
deskriptif dengan menggunakan metode berpikir induktif. Jadi bukan untuk
menguji teori atau hipotesis.
6. Berorientasi pada proses, dengan mengandalkan diri
peneliti sebagai instrumen utama. Hal ini dinilai cukup penting karena dalam
proses itu sendiri dapat sekaligus terjadi kegiatan analisis, dan pengambilan
keputusan.
7. Keriteria data/informasi lebih menekankan pada segi
validitasnya, yang tidak saja mencakup fakta konkrit saja melainkan juga
informasi simbolik atau abstrak.
8. Ruang lingkup penelitian lebih dibatasi pada
kasus-kasus singular, sehingga tekannya bukan pada segi generalisasinya
melainkan pada segi otensitasnya.
9. Fokus penelitian bersifat holistik,meliputi aspek yang
cukup luas (tidak dibatasi pada variabel tertentu).